Researcher Harus 'Turun ke Lapangan'?
Beberapa hari lalu, akun Instagram @designrant membuat post terkait researcher yang empatinya kurang karena tidak mau ke lapangan. Mari kita bahas apakah memang researcher harus ke lapangan?
Setelah membaca post IG di atas, saya tertarik untuk berbagi pendapat karena post di atas mungkin relate dengan banyak researcher di luar sana, termasuk saya.
Pertama-tama, saya setuju dengan dua hal yang saya tangkap di post ini:
Sangat penting bagi researcher untuk memahami kehidupan (calon) pengguna kita luar dalam (disebut sebagai empati di post-nya).
Untuk memahami pengguna, cara terbaik adalah berinteraksi dengan pengguna secara langsung.
Hanya saja, berkali-kali membaca detil post-nya membuat saya berpikir ada beberapa hal yang perlu diperjelas juga. Saya percaya admin @designrant juga mungkin ingin menyampaikan ini, hanya ada keterbatasan diskusi lewat IG.
Definisi ‘turun ke lapangan’
Di dalam post @designrant, seakan ‘turun ke lapangan’ hanya sama dengan datang ke tempat tinggal calon pengguna secara langsung.
Apakah iya ‘turun ke lapangan’ bagi researcher hanya saat mereka bertemu pengguna di tempat mereka tinggal/ bekerja/ bermain?
Saya coba ilustrasikan dua contoh kasus
Kita sedang ingin mencari tahu bagaimana kesibukan seorang ibu menyiapkan makanan sepanjang hari, tentunya datang ke rumahnya secara langsung adalah cara terbaik.
Kita ingin mencari tahu cara orang memilih produk di e-commerce, maka ‘turun ke lapangan’ dalam konteks ini bisa jadi cukup dengan wawancara online ditambah dengan observasi perilaku mereka lewat data analytics. Kemungkinan besar, sangat sedikit nilai lebih dari datang langsung ke rumah pengguna untuk kasus ini.
Jadi, buat saya pribadi, ‘turun ke lapangan’ ini harusnya diartikan ‘berinteraksi dengan pengguna di tempat yang paling efektif dan efisien’. Researcher yang harus mencari tahu, cara interaksi mana yang paling efektif untuk mencapai tujuan.
Bagaimana etnografi di dunia bisnis (Etnografi Komersil)
Istilah etnografi komersil saya pinjam dari sebuah marketing research agency Eye to Eye.
Etnografi yang di dunia akademis berbeda dengan etnografi komersil. Etnografi komersil biasanya dilakukan bila memang sangat perlu dilakukan karena investasi uang dan waktunya biasanya lebih besar dibanding teknik lain.
Pertama-tama, di dunia bisnis, etnografi itu hanya dilakukan saat mencari peluang bisnis yang benar-benar baru karena tujuannya mengobservasi apa kesulitan/ kebutuhan pengguna yang belum ada solusi ajeg-nya (misalnya: mencari tahu inovasi seperti apa yang dibutuhkan dari sebuah mesin cuci saat ini.)
Etnografi komersil bukan berarti tinggal dengan pengguna berbulan-bulan (saya belum pernah dengar untuk keperluan bisnis ada yang melakukan ini). Biasanya, yang dilakukan kalau etnografi komersil adalah ‘shadowing’ selama 1-5 hari - researcher mengikuti keseharian partisipan sepanjang hari dari pagi hingga sore/ malam.
Benchmark tambahan sebagai contoh:
Di tahun 2016, saya pernah studi etnografi komersil untuk produk perawatan rambut ke 6 orang partisipan saja (4x kunjungan) di Jakarta. Saat itu (2016), total biayanya hampir Rp200 juta. Total durasi researchnya hampir 2 bulan.
Pengalaman saya sendiri di dunia digital saat ini, jarang sekali stakeholder yang mau bayar semahal itu dan sesabar itu. :(
Curiousity over Empathy
Poin ini hasil perenungan saya setelah berdiskusi dengan seorang rekan researcher (Novie Adzaniah) terkait post IG ini juga. Empati adalah hal yang penting, tapi itu sepertinya kurang jelas ya bagaimana cara mencapainya. Akhirnya jadi buzz word saja. Adzan menyebutkan bahwa ‘keingintahuan’ adalah hal penting bagi seorang researcher.
Saya jadi terinspirasi bahwa yang perlu dibangun bagi researcher bukan soal ‘turun ke lapangan’ atau tidak, tapi keingintahuan ke pengguna. Dengan punya keingintahuan ini, maka researcher akan secara natural melakukan segala cara untuk semakin memahami pengguna - akhirnya terjadilah yang disebut empati itu.
Kesimpulannya, semua teknik pengambilan data dalam research di dunia bisnis (di 'lapangan', di kantor, atau online sekalipun) itu hanya alat bantu. Fokus utama seorang researcher bukan pada alat bantunya, melainkan pada tujuan research dan bisnisnya.
Researcher yang punya keingintahuan tinggi akan dapat berpikir kreatif untuk cari teknik research yang optimal (bukan ideal) untuk menjawab tujuan research dan bisnis.
Jadi, apakah researcher harus selalu ‘tidak kinclong’ kulitnya? :p